Defenisi Persediaan
Persediaan (inventory), dalam konteks produksi, dapat diartikan sebagai
sumber daya menganggur (idle resource). Sumber daya menganggur ini belum
digunakan karena menunggu proses lebih lanjut. Yang dimaksud dengan proses
lebih lanjut disini dapat berupa kegiatan produksi seperti dijumpai pada sistem
manufaktur, kegiatan pemasaran seperti dijumpai pada sistem distribusi
ataupun kegiatan konsumsi seperti pada sistem rumah tangga.
Keberadaan persediaan atau sumber daya menganggur ini dalam suatu
sistem mempunyai suatu tujuan tertentu. Alasan utamanya adalah karena
sumber daya tertentu tidak bisa didatangkan ketika sumber daya tersebut
dibutuhkan. Sehingga, untuk menjamin tersedianya sumber daya tersebut
perlu adanya persediaan yang siap digunakan ketika dibutuhkan.
Adanya persediaan menimbulkan konsekuensi berupa resiko-resiko
tertentu yang harus ditanggung perusahaan akibat adanya persediaan tersebut.
Persediaan yang disimpan perusahaan bisa saja rusak sebelum digunakan.
Selain itu perusahaan juga harus menanggung biaya-biaya yang timbul akibat
adanya persediaan tersebut.
Adapun alasan perlunya persediaan adalah :
1. TRANSACTION MOTIVE
Menjamin kelancaran proses pemenuhan (secara ekonomis) permintaan
barang sesuai dengan kebutuhan pemakai.
- Operating Stock (qo) = Persediaan supaya operasi dapat berjalan paling
baik ~ EOQ
2. PRECATUIONARY MOTIVE
Meredam fluktuasi permintaan/pasokan yang tidak beraturan.
Floktuasi = rata-rata demand + Safety Stock
Ditentukan ! (cari yang paling kritis)
3. SPECULATION MOTIVE
Alat spekulasi untuk mendapatkan keuntungan berlipat dikemudian hari.
Persediaan dapat bersifat speculator
11.2. Bentuk Sistem Persediaan
Secara umum, suatu sistem persediaan menjadi terbagi atas :
Pengendalian Persediaan 143
PERSEDIAAN Output
W(t)
Input
P(t)
Demand
D(t)
1. Sistem sederhana.
Yaitu sistem persediaan yang berdasarkan atas input dan output.
Gambar 11.1. Sistem Persediaan Input - Putput
Gambar 11.1 menunjukkan sistem persediaan yang dipengaruhi
oleh proses input dan proses output. P(t) adalah rata-rata material atau
bahan yang masuk kedalam sistem persediaan pada saat t. Sedangkan
W(t) adalah rata – rata suatu material atau bahan keluar dari sistem
persediaan. Output (W(t)) dipengaruhi oleh permintaan atau kebutuhan
terhadap material atau bahan, dengan rata-rata D(t), yang berasal dari
luar perusahaan dan berada diluar kendali perusahaan.
Walaupun terkadang kita dapat mempengaruhi permintaan dengan
kebijaksanaan harga dan iklan, atau kebutuhan akan suatu bahan dapat
dikendalikan melalui proses produksi yang dijalankan, D(t) dapat
dianggap sebagai variabel yang berada diluar kendali perusahaan. Ratarata
output (W(t)) akan sama dengan rata-rata permintaan (D(t)), kecuali
jika persediaan mengalami kekurangan, dengan kata lain D(t) lebih
besar dari P(t), atau yang disebut juga sebagai kondisi “out-of-stock” dan
“stockout”.
Kekurangan yang timbul dapat dipenuhi dengan rush order
(pemesanan mendadak). Bagi pihak supplier, rush order tentu tidak
dapat diprediksi waktu dan jumlahnya. Karena itu, rush order tentu
harus dilakukan kepada supplier yang memiliki sistem dengan tingkat
responsif yang tinggi. Tingkat responsif yang tinggi didukung oleh sistem
yang fleksibel, yang mampu mengubah volume dan waktu dari output
yang dihasilkan.
Pengendalian Persediaan 144
Proses input merupakan bagian dari sistem persediaan yang dapat
di kontrol perusahaan melalui kebijaksanaan kapan dan berapa banyak
pemesanan perlu dilakukan. Walaupun demikian, keterlambatanketerlambatan
pemenuhan pemesanan dari pemasok bisa saja terjadi,
sehingga rata-rata input aktual (P(t)), akan berdeviasi atau berbeda dari
harapan perusahaan.
2. Sistem berjenjang (Multi Echelon Inventory System).
Ada beberapa fasilitas persediaan yang saling berkaitan.
a.
b.
11.3. Fungsi Persediaan
Fungsi utama persediaan yaitu sebagai penyangga, penghubung
antar proses produksi dan distribusi untuk memperoleh efisiensi. Fungsi
lain persediaan yaitu sebagai stabilisator harga terhadap fluktuasi
permintaan. Lebih spesifik, persediaan dapat dikategorikan berdasarkan
fungsinya sebagai berikut :
a. Persediaan dalam Lot Size.
Persediaan muncul karena ada persyaratan ekonomis untuk
penyediaan (replishment) kembali. Penyediaan dalam lot yang besar
atau dengan kecepatan sedikit lebih cepat dari permintaan akan lebih
G ud a ng P us a t
G ud a ng W ila ya h
G ud a ng U P T
R e p a ir e d
P a b r ik
K o m p o n e n
p u r c h a s e d
T u rn o u t
G u d a n g
Pengendalian Persediaan 145
ekonomis. Faktor penentu persyaratan ekonomis antara lain biaya
setup, biaya persiapan produksi atau pembelian dan biaya transport.
b. Persediaan cadangan.
Pengendalian persediaan timbul berkenaan dengan ketidakpastian.
Peramalan permintaan konsumen biasanya diserti kesalahan
peramalan. Waktu siklus produksi (lead time) mungkin lebih dalam
dari yang diprediksi. Jumlah produksi yang ditolak (reject) hanya bisa
diprediksi dalam proses. Persediaan cadangan mengamankan
kegagalan mencapai permintaan konsumen atau memenuhi
kebutuhan manufaktur tepat pada waktunya.
c. Persediaan antisipasi
Persediaan dapat timbul mengantisipasi terjadinya penuruan
persediaan (supply) dan kenaikan permintaan (demand) atau
kenaikan harga. Untuk menjaga kontinuitas pengiriman produk ke
konsumen, suatu perusahan dapat memelihara persediaan dalam
rangka liburan tenaga kerja atau antisipasi terjadinya pemogokan
tenaga kerja.
d. Persediaan pipeline
Sistem persediaan dapat diibaratkan sebagai sekumpulan tempat
(stock point) dengan aliran diantara tempat persediaan tersebut.
Pengendalian persediaan terdiri dari pengendalian aliran persediaan
dan jumlah persediaan akan terakumulasi ditempat persediaan. Jika
aliran melibatkan perubahan fisik produk, seperti perlakuan panas
atau perakitan beberapa komponen, persediaan dalam aliran tersebut
persediaan setengah jadi (work in process). Jika suatu produk tidak
dapat berubah secara fisik tetapi dipindahkan dari suatu tempat
penyimpanan ke tempat penyimpanan lain, persediaan disebut
persediaan transportasi. Jumlah dari persediaan setengah jadi dan
persediaan transportasi disebut persediaan pipeline. Persediaan
pipeline. Persediaan pipeline merupakan total investasi perubahan
dan harus dikendalikan.
e. Persediaan Lebih .
Yaitu persediaan yang tidak dapat digunakan karena kelebihan atau
kerusakan fisik yang terjadi.
Pengendalian Persediaan 146
11.4. Tujuan Persediaan
Divisi yang berbeda dalam industri manufaktur akan memiliki
tujuan pengendalian persediaan yang berbeda :
1. Pemasaran ingin melayani konsumen secepat mungkin sehingga
menginginkan persediaan dalam jumlah yang banyak.
2. Produksi ingin beroperasi secara efisien. Hal ini mengimplikasikan
order produksi yang tinggi akan menghasilkan persediaan yang besar
(untuk mengurangi setup mesin). Disamping itu juga produk
menginginkan persediaan bahan baku, setengah jadi atau komponen
yang cukup sehingga proses produksi tidak terganggu karena
kekurangan bahan.
3. Pembelian (purchasing), dalam rangka efisiensi, juga menginginkan
persamaan produksi yang besar dalam jumlah sedikit daripada
pesanan yang kecil dalam jumlah yang banyak. Pembelian juga ingin
ada persediaan sebagai pembatas kenaikan harga dan kekurangan
produk.
4. Keuangan (finance) menginginkan minimisasi semua bentuk
invenstasi persediaan karena biaya investasi dan efek negatif yang
terjadi pada perhitungan pengembalian aset(return of asset)
perusahaan.
5. Personalia (personel and industrial relationship) menginginkan
adanya persediaan untuk mengantisipasi fluktuasi kebutuhan tenaga
kerja dan PHK tidak perlu dilakukan.
6. Rekayasa (engineering) menginginkan persediaan minimal untuk
mengantisipasi jika terjadi perubahan rekayasa /engineering.
11.5. Metode-Metode Pengendalian Persediaan.
Didalam mencari jawaban atas permasalahan umum dalam
pengendalian persediaan, seperti yang telah diuraikan sebelumnya pada
bagian I.1,secara kronologis metode pengendalian persediaan yang dapat
diidentifikasikan sebagai berikut :
a. Metode pengendalian secara statistik (Statistical Inventory Control)
b. Metode perencanaan kebutuhan material (MRP).
c. Metode Persedian Just In Time (JIT)
Pengendalian Persediaan 147
a. Pengendalian Persediaan secara Statistik (Statistical Inventory
Control).
Metode ini menggunakan ilmu matematika dan statistik sebagai
alat bantu utama dalam memecahkan masalah kuantitatif dalam system
persediaan. Pada dasarnya, metode ini berusaha mencari jawaban
optimal dalam menentukan :
- Jumlah ukuran pemesanan dinamis (EOQ).
- Titik pemesanan kembali (Reorder Point).
- Jumlah cadangan pengaman (safety stock) yang diperlukan.
Metode ini sering juga disebut metode pengendalian tradisional,
karena memberi dasar lahirnya metode baru yang lebih modern, seperti
MRP di Amerika dan Kanban di Jepang.
Metode pengendalian persediaan secara statistik ini biasanya
digunakan untuk mengendalikan barang yang permintaannya bersifat
bebas (dependent) dan dikelola saling tidak bergantung. Yang dimaksud
permintaan bebas adalah permintaan yang hanya dipengaruhi
mekanisme pasar sehingga bebas dari fungsi operasi produk. Sebagai
contoh adalah permintaan untuk barang jadi dan suku cadang pengganti
(spare part).
Ditinjau dari sejarah perkembangannya, metode secara formal
diperkenalkan oleh Wilson pada tahun 1929 dengan mencoba mencari
jawaban 2 pertanyaan dasar yaitu :
- Berapa jumlah barang yang harus dipesan untuk setiap kali
pemesanan ?
- Kapan saat pemesanan harus dilakukan ?
Pengembangan formula Wilson kemudian dkembangkan pada
keadaan yang lebih realistik, terutama untuk fenomena yang bersifat
probabilistik. Hal ini kemudian memunculkan 2 metode dasar
pengendalian persediaan yang bersifat probabilistik, yaitu:
- Metode P, yaitu menganut aturan bahwa saat pemesanan bersifat
reguler mengikuti suatu periode yang tetap (mingguan, bulanan, dsb),
sedangkan kuatititas pemesanan akan berulang – ulang.
- Metode Q, yaitu menganut aturan bahwa jumlah ukuran pemesanan
(kuantitas pemesanan) selalu tetap untuk setiap kali pesan, sehingga
saat pemesanan dilakukan akan bervariasi.
Pengendalian Persediaan 148
Diantara kedua metode tersebut terdapat pula metode gabungan P
dan Q.
b. Metode Perencanaan Kebutuhan Material.
Metode pengendalian tradisional akan tidak efektif bila digunakan
untuk permintaan yang bersifat tidak bebas (independent). Yang
dimaksud permintaan tidak bebas adalah permintaan yang tergantung
kepada kebutuhan suatu komponen/material dengan komponen/material
lainnya. Dengan kata lain, kebutuhan tidak bebas adalah kebutuhan
yang tunduk pada fungsi operasi produksi, sebagai gambaran adalah
permintaan akan 4 roda mobil dan 1 kemudi hanya apabila ada
permintaan 1 unit mobil, sehingga permintaan akan roda dan kemudi
dikatakan tergantung pada permintaan mobil.
Metode MRP ini bersifat oriented, yang terdiri dari sekumpulan
prosedur, aturan – aturan keputusan dan seperangkat mekanisme
pencatatan yang dirancang untuk menjabarkan Jadual Induk Produksi
(JIP). Dari sejarahnya, penerapan MRP pertama kali digunakan pada
industri logam tipe Job Shop dimana tipe ini termasuk tipe yang paling
suli tdikendalikan dalam system manufaktur. Dengan demikian,
kehadiran MRP sangat berarti dalam meminimisasi investasi
persediaan, memudahkan penyusunan jadwal kebutuhan setiap
komponen yang diperlukan dan sebagai alat pengendalian produksi dan
persediaan. Dalam perkembangan selanjutnya, MRP dapat diterapkan
juga pada pengendalian persediaan dalam system manufaktur, baik
untuk tipe Job Shop, tipe produksi massal (mass production) maupun
tipe lainnya.
c. Metode Persedian Just In Time (JIT)
Metode ini merupakan salah satu operasionalisasi dari konsep
Just In Time (JIT), yang dikembangkan dalam system produksi Toyota
Motor Co. Produksi JIT berarti produksi massal dalam jumlah kecil,
tersedia untuk segera digunakan. Dalam JIT digunakan teknik
pengendalian persediaan yang dinamakan Kanban. Dalam system ini,
jenis dan jumlah unit yang diperlukan oleh proses berikutnya, diambil
dari proses sebelumnya, pada saat diperlukan. Dan ini merupakan tanda
Pengendalian Persediaan 149
bagi proses sebelumnya untuk memproduksi unit yang baru saja diambil.
Jenis dan jumlah unit yang dibutuhkan tersebut ditulis dalam suatu
kartu yang disebut juga Kanban. Dalam system ini digunakan kereta
sebagai tempat komponen, dengan jumlah tetap. Didalam tiap kereta
terdapat dua kartu. Sebuah kartu menandakan pesanan pada produksi,
dan sebuah lagi menandakan pengambilan unit. Perbedaan utama dalam
system ini dengan kedua system sebelumnya terletak pada perbedaan
karakteristik “pertimbangan” yang digunakan untuk mengatur jadwal
produksi. Pada dua system terdahulu, dilakukan proyeksi permintaan
yang akan dating, dan selanjutnya penjadwalan produksi dilakukan
untuk memenuhi permintaan tersebut, penjadwlan mendorong produksi
(push system). Sedangkan dalam sistem Kanban, jadwal produksi diatur
sesuai dengan permintaan aktual (pull system).
11.6. Biaya-Biaya Persediaan
Tujuan dari manajemen persediaan adalah memiliki persediaan
dalam jumlah yang tepat, pada waktu yang tepat dan dengan biaya yang
rendah. Karena itu, kebanyakan model-model persediaan menjadikan
biaya sebagai parameter dalam mengambil keputusan. Biaya dalam
sistem persediaan secara umum dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Biaya Pembelian (Purchasing Cost = c)
Biaya pembelian (purchase cost) dari suatu item adalah harga
pembelian setiap unit item jika item tersebut berasal dari sumbersumber
eksternal, atau biaya produksi perunit bila item tersebut
berasal dari internal perusahaan atau diproduksi sendiri oleh
perusahaan. Biaya pembeliaan ini bisa bervariasi untuk berbagai
ukuran pemesanan bila pemasok menawarkan potongan harga untuk
ukuran pemesanan yang lebih besar. Dalam, Kebanyakan teori
persediaan, komponen biaya pembelian tidak dimasukkan kedalam
total biaya pembelian untuk periode tertentu (misalnya satu tahun)
konstan dan hal ini tidak akan mempengaruhi jawaban optimal
tentang berapa banyak barang yang harus dipesan.
2. Biaya Pengadaan (Procurement Cost )
Biaya pegadaan dibedakan atas 2 jenis sesuai asal – usul barang ,
yaitu biaya pemesanan (ordering cost) bila barang yang diperlukan
Pengendalian Persediaan 150
diperoleh dari pihak luar (supplier) dan biaya pembuatan (setup cost)
bila barang diperoleh dengan memproduksi sendiri.
a. Biaya Pemesanan (Ordering Cost = k)
Biaya pemesanan adalah semua pengeluaran yang timbul untuk
mendatangkan barang dari luar. Biaya ini pada umumya meliputi,
antara lain :
- Pemrosesan pesanan.
- Biaya ekspedisi.
- Biaya telepon dan keperluan komunikasi lainnya.
- Pengeluaran surat meyurat, foto kopi dan perlengkapan
administrasi lainnya.
- Biaya pengepakan dan penimbangan.
- Biaya pemeriksaan (inspeksi) penerimaan
- Biaya pengiriman ke gudang, dan seterusnya.
Secara normal, biaya perpesanan tidak naik bila kuantitas
pesanan berubah. Tetapi bila semakin banyak item yang dipesan
setiap kali pemesanan, maka jumlah pemesanan per periode akan
turun, maka biaya pemesanan total akan turun.
b. Biaya Pembuatan (Setup Cost = k)
Ongkos pembuatan adalah semua pengeluaran yang ditimbulkan
untuk persiapan memproduksi barang. Ongkos ini biasanya timbul
didalam pabrik, yang meliputi ongkos menyetel mesin, ongkos
mempersiapkan gambar benda kerja, dan sebagainya.
Karena kedua ongkos tersebut diatas mempunyai peran yang
sama, yaitu pengadaan, maka didalam sistem persediaan ongkos
tersebut sering disebut sebagai ongkos pengadaan (procurement
cost).
3. Biaya Penyimpanan (Carrying Cost = h)
Biaya penyimpanan (holding cost) merupakan biaya yang timbul
akibat disimpannya suatu item. Biaya penyimpanan terdiri atas
biaya-biaya yang bervariasi secara langsung dengan kuantitas
persediaan. Biaya penyimpanan per periode akan semakin besar
apabila kuantitas bahan yang dipesan semakin banyak, atau rataPengendalian
Persediaan 151
rata persediaan semakin tinggi. Biaya-biaya yang termasuk sebagai
biaya penyimpanan adalah :
a. Biaya Memiliki Persediaan (biaya Modal).
Penumpukan barang digundang berarti penumpukan modal,
dimana modal perusahaan mempunyai ongkos (expense) yang
dapat diukur dengan suku bunga bank. Oleh karena itu, biaya
yang ditimbulkan karena memiliki persediaan harus
diperhitungkan dalam biaya sistem persediaan. Biaya memiliki
persediaan diukur sebagai persentasi nilai persediaan untuk
periode tertentu.
b. Biaya Gudang
Barang yang disimpan memerlukan tempat penyimpanan
sehingga timbul biaya gudang. Bila gudang dan peralatannya
disewa maka biaya gundangnya merupakan biaya sewa sedangkan
bila perusahaan mempunyai gudang sendiri maka biaya gudang
merupakan biaya depresi.
c. Biaya Kerusakan dan Penyusutan.
Barang yang disimpan dapat mengalami kerusakan dan
penyusutan karena beratnya berkurang ataupun jumlahnya
berkurang karena hilang. Biaya kerusakan dan penyusutan
biasanya diukur dari pengalaman sesuai dengan persentasenya.
d. Biaya Kadaluarsa (Absolence).
Barang yang disimpan dapat mengalami penurunan nilai karena
perubahan teknologi dan model seperti barang – barang
elektronik. Biaya kadaluarsa biasanya diukur dengan besarnya
penurunan nilai jual dari barang tersebut.
e. Biaya Asuransi.
Barang yang dismpan diasuransikan untuk menjaga dari hal – hal
yang tidak diinginkan, seperti kebakaran. Biaya asuransi
tergantung jenis barang yang diasuransikan dan perjanjian
dengan perusahaan asuransi.
f. Biaya Administrasi dan Pemindahan.
Biaya ini dikeluarkan untuk mengadministrasi persediaan barnag
yang ada, baik pada saat pemesanan, penerimaan barang maupun
penyimpanannya dan biaya untuk memindahkan barang dari , ke
Pengendalian Persediaan 152
dan di dalam tempat penyimpanan, termasuk upah buruh dan
peralatan handling.
Dalam manajemen persediaan, terutama yang berhubungan
dengan masalah kuantitatif, biaya simpan per – unit diasumsikan
linier terhadap jumlah barang yang disimpan (misalnya :
Rp/unit/tahun).
4. Biaya Kekurangan Persediaan (Shortage Cost = p)
Dari semua biaya-biaya yang berhubungan dengan tingkat
persediaan, biaya kekurangan bahan (stockout cost) adalah yang
paling sulit diperkirakan. Biaya ini timbul bilamana persediaan tidak
mencukupi permintaan produk atau kebutuhan bahan. Biaya-biaya
yang termasuk biaya kekurangan persediaan adalah sebagai berikut:
- Kehilangan penjualan; ketika perusahaan tidak mampu
memenuhi suatu pesanan, maka ada nilai penjualan yang hilang
bagi perusahaan.
- Kehilangan langganan; pelanggan yang merasa kebutuhannya
tidak dapat dipenuhi perusahaan akan beralih keperusahaan lain
yang mampu memenuhi kebutuhan mereka.
- Biaya pemesanan khusus; agar perusahaan mampu memenuhi
kebutuhan akan suatu item, perusahaan bisa melakukan
pemesanan khusus agar item tersebut diterima tepat waktu.
Pemesanan khusus biasanya mengakibatkan pertambahan biaya
pada biaya ekspedisi dan harga item yang dibeli.
- Terganggunya proses produksi, jika kekurangan persediaan terjadi
pada persediaan bahan, dan hal ini tidak diantisipasi sebelumnya,
maka kegiatan produksi akan terganggu.
- Tambahan pengeluaran kegiatan manajerial, dan sebagainya.
Biaya kekurangan persediaan dapat diukur dari :
a. Kuantitas yang tidak dapat dipenuhi.
Biasanya diukur dari keutungan yang hilang karena tidak dapat
memenuhi permintaan atau dari kerugian akibat terhentinya
proses produksi. Kondisi ini diistilahkan sebagai biaya penalti (p)
atau hukuman kerugian bagi perusahaan dengan satuan misalnya
: Rp/unit.
b. Waktu Pemenuhan
Pengendalian Persediaan 153
Lamanya gudang kosong berarti lamanya proses produksi terhenti
atau lamanya perusahaan tidak mendapat keuntungan, sehingga
waktu menganggur tersebut dapat diartikan sebagai uang yang
hilang. Biaya waktu pemenuhan diukur berdasarkan waktu yang
diperlukan untuk memenuhi gudang dengan satuan misalnya :
Rp/unit
c. Biaya Pengadaan Darurat.
Supaya konsumen tidak kecewa, maka dapat dilakukan
pengadaan darurat yang biasanya menimbulkan biaya yang lebih
besar dari pengadaan normal. Kelebihan biaya dibandingkan
pengadaan normal ini dapat dijadikan ukuran untuk menentukan
biaya kekurangan persediaan dengan satuan misalnya : Rp/setiap
kali kekurangan.
Kadang – kadang biaya ini disebut juga biayan kesempatan
(opportunity cost).
Ada perbedaan pengetian antara biaya persediaan actual yang
dihitung secara akuntansi dengan biaya persediaan yang digunakan
dalam menentukan kebijaksanaan persediaan. Biaya persediaan yang
diperhitungkan dalam penentuan kebijaksanaan persediaan yang
diperhitungkan dalam penentuan kebijaksanaan persediaan hanyalah
biaya – biaya yang bersifat variable (incremental cost), sedangkan
biaya yang bersifat fixed seperti biaya pembelian tidak akan
mempengaruhi hasil optimal yang diperoleh sehingga tidak perlu
dipertimbangkan.
5. Biaya Sistemik.
Selain biaya – biaya disebut diatas yang biasanya bersifat rutin, maka
ada ongkos lain yang disebut Biaya Sistemik. Biaya ini meliputi biaya
perancangan dan perencanaan system persediaan serta ongkos –
ongkos untuk mengadakan peralatan (misalnya komputer) serta
melatih tenaga yang digunakan untuk mengoperasikan system. Biaya
sistemik ini dapat dianggap sebagai biaya investasi bagi pengadaan
suatu system pengadaan.
Satu hal yang perlu diperhatikan dalam identifikasi biaya persediaan
adalah adanya perbedaan pengertian antara biaya persediaan actual
yang dihitung secara akuntansi dan biaya persediaan yang digunakan
Pengendalian Persediaan 154
didalam menentukan kebijaksanaan persediaan. Dalam penentuan
kebijaksanaan persediaan, biaya persediaan yang diperhitungkan
hanyalah biaya – biaya yang bersifat variable, sedangkan biaya yang
bersifat tetap tidak akan mempengaruhi hasil optimasi yang
diperoleh sehingga keberadaannya tidak harus diperhitungkan.
Selain itu biaya kekurangan persediaan yang secara actual tidak
pernah tercatat akuntansi akan diperhitungkan didalam penentuan
kebijaksanaan persediaan. Karena itu yang dimaksud dengan biaya
persediaan disini bukanlah biaya persediaan actual yang dihitung
secara akuntansi, tetapi biaya persediaan untuk keperluan penentuan
kebijaksanaan.
11.7. Kebijaksanaan Persediaan
Secara garis besar kebijaksanaan persediaan terbagi dua, yaitu
Periodic Review (R,r) Policy dan Continous Review (Q,r) Policy. Untuk
Periodic Review (R,r) Policy persediaan dihitung hanya pada saat periode
yang ditentukan, jika pada saat itu persediaan yang ada berada dibawah
titik minimum persediaan yang ditetapkan (reorder point), maka
dilakukan pemesanan. Sedangkan jika persediaan diatas reorder point,
maka tidak dilakukan pemesanan. Periodic Review (R,r) Policy ini dapat
digambarkan seperti pada gambar berikut :
Gambar 11.2. Periodic Review (R,r) Policy
Pada gambar 11.2, pada saat t1, jumlah persediaan (I1) berada
diatas reorder point (r), sehingga tidak dilakukan pemesanan. Setelah
selang waktu T, yaitu pada saat t2, dilakukan pemesanan sejumlah
Q2=R-I2 unit, karena pada saat itu jumlah persediaan (I2) berada
dibawah reorder point. Perlu dicatat, bahwa pesanan tidak diterima
Time
R
r
Inventory
t1 t2 t3
Pengendalian Persediaan 155
Q Q Q
I I I
Time
r
Inventory
seketika, sehingga jumlah persediaan berkurang terus sepanjang
leadtime sampai pesanan diterima. Pada gambar, pesanan yang dibuat
pada t3 tidak diterima sampai persediaan habis dan terjadi kekurangan
persediaan.
Pada Continous Review (Q,r) Policy, sisa persediaan diperiksa
terus-menerus, setiap ada bahan yang masuk atau keluar, dilakukan
pencatatan. Order akan dilakukan setiap kali jumlah persediaan
mencapai reorder point. Continous Review (Q,r) Policy ini dapat
digambarkan seperti pada gambar berikut :
Gambar 11.3. Continous Review (Q,r) Policy
Pada gambar diatas, setiap kali jumlah persediaan (I) sampai pada
titik reorder point, maka dilakukan pemesanan. Namun, pesanan ini
tidak akan diterima seketika sesuai leadtime. Sehingga, ketika
penggunaan sepanjang leadtime lebih besar dari reorder point, maka
akan timbul kekurangan. Pada gambar juga terlihat bahwasanya waktu
antara satu order dengan order berikutnya bervariasi, sedangkan jumlah
yang dipesan (Q) tetap.
11.8. Statistical Inventory Control
Pengendalian persediaan secara statistik terbagi atas 3 yaitu :
1. Bersifat DETERMINISTIK
= 0 ~ probabilitas = 1; diketahui
2. Bersifat PROBABILISTIK
0; dist. diketahui; diketahui ~ statistik parametrik
3. Bersifat tidak tentu (uncertainty)
0; dist. tidak diketahui (pola tidak ada dan tidak bisa dipredeksi)
~ statistik nonparametrik.
Pengendalian Persediaan 156
Untuk mengetahui distribusi dengan GOODNESS OF FIT
Untuk menguji = 0 atau tidak dengan F-test.
11.8.1. Pengendalian Persediaan Secara Deterministik.
Untuk menentukan kebijaksanaan persediaan yang optimum,
dibutuhkan informasi mengenai parameter-parameter berikut:
1. Perkiraan kebutuhan
2. Biaya-biaya persediaan
3. Lead time
Dalam model persediaan deterministik parameter-parameter yang
berpengaruh terhadap sistem persediaan dapat diketahui dengan pasti.
Rata-rata kebutuhan dan biaya-biaya persediaan diasumsi diketahui
dengan pasti. Lamanya lead time juga diasumsikan selalu tetap. Karena
semua parameter bersifat deterministik maka tidak dimungkinkan
adanya kekurangan peersediaan. Dalam dunia nyata, akan sangat jarang
ditemukan situasi dimana seluruh parameter dapat diketahui dengan
pasti. Karena itu, akan lebih masuk akal jika digunakan model-model
probabilistik yang mempertimbangkan ketidakpastian pada parameter -
parameternya. Namun, model deterministik terkadang merupakan
pendekatan yang sangat baik, atau paling tidak merupakan langkah
awal yang baik untuk menggambarkan fenomena persediaan.
Salah satu model yang sangat popular didalam sistem
deterministik adalah model Wilson. Model Wilson ini merupakan dasar
dari berbagai pengembangan metode – metode persediaan. Berikut ini
akan dijelaskan beberapa metode untuk model persediaan deterministik.
a. Model Wilson (EOQ)
Dalam model EOQ (Economic Order Quantity) digunakan asumsiasumsi
berikut untuk menyederhanakan sistem persediaan yang ada:
- Permintaan (kebutuhan) diketahui dengan pasti dan
konstan sepanjang waktu.
- Pemesanan kembali dilakukan ketika persediaan mencapai titik
nol, dan akan langsung diterima seketika, sesuai ukuran
pemesanan yang dilakukan, sehingga tidak akan terjadi
kekurangan persediaan.
Pengendalian Persediaan 157
Model EOQ ini mencari ukuran pemesanan yang ekonomis dengan
meminimalkan total biaya. Ada dua macam biaya yang
dipertimbangkan, yaitu:
1. Biaya penyimpanan
Biaya penyimpanan pertahun merupakan perkalian antara ratarata
persediaan pertahun dengan biaya simpan perunit pertahun.
Jika rata-rata persediaan pertahun = 2
Q
, dimana Q adalah ukuran
pemesanan, dan biaya simpan perunit pertahun adalah h, maka:
Total biaya penyimpanan pertahun = 2
hQ
2. Biaya pemesanan dan pembelian
Biaya pembelian pertahun (annual purchase cost) merupakan total
harga yang dikeluarkan untuk membeli suatu barang, yaitu
perkalian antara harga barang perunit (C) dengan banyaknya
barang yang di beli sepanjang tahun, yaitu sebesar demand (D).
Total biaya pembelian pertahun = DC
Sedangkan total biaya pemesanan pertahun merupakan perkalian
antara biaya per pemesanan (A) dikalikan banyaknya pemesanan
dalam satu tahun ( Q
D
), dimana D adalah banyaknya kebutuhan
selama satu tahun.
Total biaya pemesanan pertahun = Q
A D
Sehingga;
Total Biaya Per Tahun (TC) = biaya pembelian per tahun +
biaya pemesanan per tahun +
biaya penyimpanan per tahun
2
DC hQ
Q
TC A D
Hubungan secara umum antara biaya pembelian, biaya
pemesanan, biaya penyimpanan dan total biaya dari sistem persediaan
dapat dilihat pada Gambar 11.4.
Pengendalian Persediaan 158
Dari Gambar 11.4 terlihat bahwa total biaya minimum terjadi
pada saat kurva total biaya mencapai titik terendah, dimana terlihat
pula bahwa pada saat itu biaya penyimpanan sama dengan biaya
pemesanan. Dengan perhitungan kalkulus melalui pengambilan turunan
pertama dari persamaan total biaya akan diperoleh rumusan ukuran
pemesanan yang optimum (Q*), yaitu :
2
DC hQ
Q
TC A D
Q* h
2AD
dimana : D = tingkat permintaan, unit per tahun
A = biaya per pemesanan
h = biaya penyimpanan perunit pertahun
Q* = ukuran pesanan ekonomis
b. Model EOQ dengan titik pemesanan ulang (reorder point)
Pada model EOQ sebelumnya, informasi lead time belum
dipertimbangkan, sehingga diasumsikan bahwasanya pesanan akan
langsung diterima seketika, sesuai ukuran pemesanan yang
dilakukan. Tentunya asumsi ini tidak realistis karena sesungguhnya
pesanan akan diterima setelah selang waktu tertentu setelah
dilakukannya pemesanan. Pada model EOQ dengan titik pemesanan
ulang (reorder point), asumsi tersebut ditiadakan. Pemesanan harus
dilakukan sebelum tingkat persediaan menjadi nol, yaitu ketika
Gambar 11.4. Total Biaya Persediaan
0
1500
3000
4500
6000
7500
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000
Lot Siz e (Q )
Cost
2
h Q
Biaya pemesanan = Q
A D
2
DC hQ
Q
TC AD
Pengendalian Persediaan 159
persediaan mencapai titik pemesanan ulang (reorder point). Secara
grafis situasi ini dapat digambarkan seperti pada Gambar 11.5.
Gambar 11.5.Titik Pemesanan Ulang dan Tenggang Waktu
Titik pemesanan ulang dihitung dengan mengalikan tenggang
waktu (L) dengan permintaan perhari. Jika kita mengasumsikan bahwa
satu tahun terduru dari 365 hari, maka permintaan perhari adalah 365
D
.
Jadi, rumus untuk titik pemesanan ulang, R, adalah:
365
R L D
Asumsi-asumsi yang digunakan dalam model EOQ klasik adalah:
- Rata-rata kebutuhan diketahui dan konstan
- Lamanya leadtime diketahui dan konstan
- Pesanan tiba sekaligus pada satu waktu sesuai ukuran pesanan
- Tidak terjadi kekurangan persediaan
- Struktur biaya tetap; biaya pesan tetap untuk tiap kali pemesanan,
biaya simpan merupakan fungsi linier berdasarkan rata-rata
inventori, dan tidak ada potongan harga untuk pembelian dalam
jumlah besar.
- Terdapat tempat penyimpanan, kapasitas dan biaya yang cukup
untuk mendatangkan sejumlah kuantitas pemesanan yang
diinginkan.
11.8.2. Model Persediaan Probabilistik
Pada model-model persediaan deterministik, diasumsikan
bahwasanya semua parameter persediaan selalu konstan dan diketahui
secara pasti. Pada kenyataan, sering terjadi parameter-parameter yang
Pengendalian Persediaan 160
ada merupakan nilai-nilai yang tidak pasti, dan sifatnya hanya estimasi
atau perkiraan saja.
Parameter-parameter seperi permintaan, lead time, biaya
penyimpanan, biaya pemesanan, biaya kekurangan persediaan dan
harga, kenyataannya sering bervariasi. Model-model deterministik tidak
peka terhadap perubahan-perubahan parameter tersebut. Untuk
menghadapi variasi yang ada, terutama variasi permintaan dan lead
time, model probabilistik biasanya dicirikan dengan adanya persediaan
pengaman (safety stock). Variasi permintaan dan lead time dalam sistem
persediaan dapat dilihat pada Gambar 11.6.
Pada Gambar 11.6, dapat dilihat grafik tingkat persediaan teoritik
dan persediaan nyata dari waktu ke waktu. Adanya perbedaan lead time
dan permintaan dari waktu kewaktu menyebabkan berbedanya tingkat
persediaan teoritik dan tingkat persediaan nyata. Sehingga, bila tidak
ada persediaan pengaman maka perusahaan akan mengalami
kekurangan persediaan.
Gambar 11.6. Variasi Permintaan Dan Lead Time Dalam Sistem Persediaan
11.9. Identifikasi Material Menggunakan Analisis Klasifikasi ABC
Klasifikasi ABC – atau sering juga disebut sebagai analisis ABC –
merupakan klasifikasi dari suatu kelompok material dalam susunan
menurun berdasarkan biaya penggunaan material itu per periode
waktu (harga per unit dikalikan volume penggunaan dari material itu
selama periode tertentu). Periode waktu yang umum digunakan adalah
satu tahun. Analisis ABC juga dapat ditetapkan menggunakan kriteria
L1 L2 L3
Persediaan
Teoritik Persediaan
Nyata
Waktu
Kuantitas
(Unit)
Reorder Point
Safety
Stock
Pengendalian Persediaan 161
lain – bukan semata – mata berdasarkan kriteria biaya – tergantung
pada faktor – faktor penting apa yang menentukan material tersebut.
Klasifikasi ABC umum dipergunakan dalam pengendalian inventory
(inventory control). Beberapa contoh penerapan seperti ; pengendalian
inventory material pada pabrik, inventori produk akhir pada gudang
barang jadi, inventory obat – obatan pada apotek, inventory suku cadang
pada bengkel atau toko, inventory produk pada supermarket atau toko
serba ada (roserba) , dan lain – lain .
Pada dasarnya terdapat sejumlah faktor yang menentukan
kepentingan suatu material, yaitu :
1. Nilai total uang dari material.
2. Biaya per unit dari material.
3. Kelangkaan atau kesulitan memperoleh material.
4. Ketersediaan sumber daya, tenaga kerja, dan fasilitas yang
dibutuhkan untuk membuat material.
5. Panjang dan variasi waktu tunggu (lead time) dari material, sejak
pemesanan material itu pertama kali sampai kedatangannya.
6. Ruang yang dibutuhkan untuk menyimpan material itu.
7. Resiko penyerobotan atau pencurian material itu.
8. Biaya kehabisan stock atau persediaan (stockout cost) dari
material itu.
9. Kepekaan material terhadap perubahan desain.
Klasifikasi ABC mengikuti prinsip 80 – 20, atau hukum Pareto,
dimana sekitar 80% dari nilai total inventori material dipresentasikan
(diwakili) oleh 20% material inventory.
11.9.1. Penggunaan Klasifikasi ABC
Penggunaan Analisis ABC adalah untuk menentapkan :
1. Frekwensi perhitungan inventori (cycle inventory),dimana material –
material kelas A harus diuji lebih sering dalam hal akurasi catatan
inventory dibandingkan material–material kelas B atau C.
2. Prioritas rekayasa (engineering), dimana material – material kelas A
dan B memberikan petunjuk pada bagian Rekayasa dalam
peningkatan program reduksi biaya ketika mencari material –
material tertentu yang perlu difokuskan.
Pengendalian Persediaan 162
3. Prioritas pembelian (perolehan), dimana aktivitas pembelian
seharusnya difokuskan pada bahan – bahan baku bernilai tinggi (high
usage). Fokus pada material – material kelas A untuk pemasokan
(sourcing) dan negoisasi.
4. Keamanan : meskipun nilai biaya per unit merupakan indikator yang
lebih baik dibandingkan nilai penggunaan (usage value), namun
analisis ABC boleh digunakan sebagai indikator dari material –
material mana (kelas A dan B) yang seharusnya aman disimpan
dalam ruangan terkunci untuk mencegah kehilangan, kerusakan,
atau pencurian.
5. Sistem pengisian kembali (replenishment systems), dimana klasifikasi
ABC akan membantu mengidentifikasi metode pengendalian yang
digunakan. Akan lebih ekonomis apabila mengendalikan material –
material kelas C dengan simple two - bin system of replenishment
(synonim ; bin reserve system or visual review system) dan metode –
metode yang lebih canggih untuk material – material kelas A dan B.
6. Keputusan investasi : karena material – material kelas A
menggambarkan investasi yang lebih besar dalam inventory, maka
perlu lebih berhati – hati dalam membuat keputusan tentang
kuantitas pesanan dan stock pengaman material – material kelas A
dibandingkan terhadap material – material kelas B dan C.
Seyogianya implentasi JIT pada bagian pembelian diterapkan
pertama kali dalam pembelian material – material kelas A, kemudian
material kelas B, dan pada akhirnya pada material – material kelas
C.
11.9.2. Pengendalian Persediaan dengan Sistem Klasifikasi ABC.
A. Pengendalian Item Kelas A.
Pengendalian terdekat dibutuhkan untuk persediaan yang
mempunyai harga pengeluaran stock damitem, dihitung untuk fraksi
yang luas dari persediaan total. Pengendalian terdekat mungkin
dilakukan untuk bahan baku yang digunakan secara terus – menerus
dalam volume yang sangat berbeda. Agen pembelian boleh melakukan
kontrak dengan distributor untuk kesinambungan pemasok bahan baku
pada laju pemakaian bahan. Seperti dalam hal ini, membeli bahan baku
Pengendalian Persediaan 163
tidak berpedoman pada jumlah ekonomis atau siklus ekonomi.
Menggantikan laju aliran dibuat secara periodik sesuai permintaan dan
penggantian posisi persediaan. Pasokan minimum dari pemeliharaan
untuk menjaga fluktuasi permintaan dan kemungkinan berhentinya
pemasok.
Untuk keseimbangan item kelas A, pesanan periodik diharapkan
pada tiap minggu, mengadakan pengawasan ketat level persediaan yang
melebihi. Variasi laju pemakaian diserap secara tepat oleh ukuran
pesanan tiap minggu, menurut sistem periodik atau sistem pilihan yang
dibicarakan sebelumnya. Juga karena pengawasan ketak, resiko sebuah
perpanjangan pengeluaran stock adalah kecil. Walaupun begitu , buffer
stock menyediakan tingkat pelayanan persediaan yang baik akan
dibenarkan untuk item – item yang mempunyai biaya pengeluaran stock
yang besar.
B. Pengendalian Item Kelas B
Item ini seharusnya dimonitor oleh sistem komputer, dengan
tampilan periodik oleh manajemen. Banyak diskusi model pada bab ini
yang relevan untuk item B. Bahkan, parameter model ditampilkan
kurang sering dari item kelas A. Biaya pengeluaran stock kelas B sedikit
untuk peraturan dan buffer stock menyediakan pengawasan yang cukup
untuk pengeluaran, bahkan pemesanan terjadi sekurang mungkin.
C. Pengendalian Item Kelas C
Perhitungan item kelas C merupakan bagian terbesar dari item
inventory dan memodelkan secara hati – hati, tetapi pengawasan rutin
harus memadai . Sistem reorder point tidak membutuhkan evaluasi fisik
stock, seperti pada sistem “two bin” yang mencukupi seperti biasa. Untuk
tiap item, tindakan dicetuskan ketika persediaan tepat point reorder.
Jika penggunaan dirubah, pesanan akan dilaksanakan lebih awal atau
lebih lambat dari waktu rata – rata, menyediakan kompensasi
kebutuhan. Semi annual atau tampilan annual dari tiap parameter
sistem harus dilaksanakan tepat waktu, memperkirakan lead time
pemasokan dan biaya hasil yang mungkin pada perubahan dalam EOQ.
Pengendalian Persediaan 164
Secara periodek ditunjukkan pada interval panjang yang dapat
digunakan.
11.9.4. Pengelompokkan Material ke Dalam Kelas ABC.
Terdapat sejumlah prosedur untuk mengelompokkan material –
material inventory kedalam kelas A, B dan C, antara lain :
1. Tentukan penggunaan volume per periode waktu ( biasanya per
tahun ) dari material – material yang ingin di klasifikasikan.
2. Gandakan (kalikan ) volume penggunaan per periode waktu (per
tahun) dari setiap material dengan biaya per unitnya guna
memperoleh nilai total penggunaan biaya per periode waktu (per
tahun) untuk setiap material itu.
3. Jumlahkan nilai total penggunaan biaya dari semua material
inventory itu untuk memperoleh nilai total penggunaan biaya
agregat (keseluruhan).
4. Bagi nilai total penggunaan biaya dari setiap biaya inventory itu
dengan nilai total penggunaan biaya agregat, untuk menentukan
persentase nilai total penggunaan biaya dari setiap material
inventory itu.
5. Daftarkan material – material itu dalam rank persentase nilai total
penggunaan biaya dengan urutan menurun dari terbesar sampai
terkecil.
6. Klasifikasikan material – material inventory itu ke dalam kelas A, B
dan C dengan kriteria 20% dari jenis material diklasifikasikan ke
dalam kelas A. 30% dari jenis material diklasifikasikan ke dalam
kelas B, dan 50% jenis material diklasifikasikan ke dalam kelas C.
Adapun contoh aplikasi dari Klasifikasi ABC dapat dilihat pada
halaman di sebelah sebagai berikut.
Pengendalian Persediaan 165
Tabel 11.1. Perhitungan Klasifikasi ABC dari Inventori Perusahaan
Microchips
Nomor
Stock
Material
Persentase
material
yang
Disimpan
Volume
Penggunaan
Tahun per
(Unit)
Biaya
per
(Unit)
Nilai Total
Penggunaan
Uang per
Tahun ($)
Urutan
Persentase
Nilai Total
Penggunaan
Uang (%)
Persentase
Nilai Total
Penggunaan
Uang dari
Setiap
Kelas
Kelas
Satu
Kelompok
Material
Inventory
#10286
#11526
20%
1000
500
90,00
154,00
90.000
77.000
38,8
33,2
72%
A
A
#12760
#10867
#10500
30%
1550
350
1000
17,00
42,89
12,50
26.350
15.001
12.500
11,4
6,5
5,4
23%
B
B
B
#12572
#14075
#01036
#01307
#10572
50%
600
2000
100
1200
250
17,17
0,60
8,50
0,42
0,60
8.502
1.200
850
504
150
3,7
0,5
0,4
0,2
0,1
5%
C
C
C
C
C
Total
100% 8550 - 232.057 100% 100%s -
Gambar 11.7. Grafik Pengelompokkan Inventory PT. Microchips Berdasarkan
Klasifikasi ABC
Setelah material – material inventori itu dikelompokkan ke dalam
kelas A, B, C, selanjutnya pihak manajemen pembelian perlu
memfokuskan perhatian pada material – material kelas A dengan
merumuskan kebijaksanaan JIT dalam pembelian material – material
kelas A itu. Pihak manajeman industri juga dapat memanfaatkan
klasifikasi ABC ini untuk merumuskan sistem manajemen inventory
material, seperti ditunjukkan pada tabel 11.2, dibawah ini :
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
PersentaseNilai Total Penggunaan
Uang
Persentase Item - Item Inventory
20% 30% 50%
Pengendalian Persediaan 166
Tabel 11.2. Kebijaksanaan Manajemen Inventory Berdasarkan
Klasifikasi ABC
Deskripsi
Material –
material kelas A
Material –
material kelas B
Material –
material kelas C
Fokus perhatian
Manajemen
Utama Normal Cukup
Pengambilan
(Kontrol)
Ketat Normal Longgar
Stock Pengaman Sedikit Normal Cukup
Akurasi Peramalan Tinggi Normal Cukup
Kebutuhan
Perhitungan
Inventory (cycle
Counting)
1 – 3 Bulan 3 – 6 Bulan 6 – 12 Bulan